Era digitalisasi 4.0 yang kini sudah mewabah memang sudah tidak dapat dihindari oleh siapapun dalam pergaulan masyarakat secara umum, maupun masyarakat hukum secara khusus. Semua aspek kehidupan bermasyarakat pun mulai bergeser dengan adanya perkembangan dunia teknologi/elektronik yang sangat pesat ini. Mulai dari sistem komunikasi, sistem pembayaran, bahkan sampai pada sistem hukum.
Setiap orang yang menolak perkembangan era teknologi 4.0 ini, akan tertinggal dengan sendirinya. Untuk merespon perkembangan dunia teknologi ini, maka Pemerintah pun merespon dengan mengeluarkan Peraturan Presiden No.95 Tahun 2018 tentang Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik. Hal ini direspon pula oleh Perangkat Penegak Hukum (Yudikatif) dengan dikeluarkannya Peraturan Mahkamah Agung No. 1 tahun 2019 tentang Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan secara Elektronik. Namun isi PERMA ini masih sebatas mengatur mengenai jenis perkara Perdata, Perdata Agama, Tata Usaha Negara (TUN), Tata Usaha Militer.
Belum terpikirkan saat itu bagi Mahkamah Agung untuk membuat suatu aturan secara online bagi penanganan perkara-perkara Pidana. Hingga suatu peristiwa/keadaan luar biasa yang terjadi yakni wabah Covid-19 (Corona) yang mewabah di seantero penjuru dunia, termasuk Indonesia. Tingkat penularan yang cukup tinggi di Indonesia, direspon Pemerintah dengan berbagai aturan dan kebijakan yang melarang adanya kerumunan bahkan kegiatan pekerjaan di perkantoran sudah beberapa kali ditutup. Hanya beberapa bidang usaha saja yang diperbolehkan tetap beroperasi.
Merespon hal di atas, Mahkamah Agung pun mengeluarkan pula Surat Edaran No. 1 tahun 2020 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Selama masa pencegahan penyebaran corona virus disease (Covid-19) di lingkungan Mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang berada dibawahnya. SEMA ini pun sudah beberapa kali diubah dengan isi relatif kurang lebih sama, namun memperpanjang pemberlakuan Pedoman di atas. Karena SEMA no.01/2020 di atas, awalnya dibuat dari bulan Maret 2020 hingga Mei 2020, dan akan dilakukan evaluasi melihat perkembangan situasi wabah Covid yang terjadi.
Yang ternyata hingga kini, bulan Oktober 2020, wabah masih terus berlangsung, hingga SEMA telah diubah dengan SEMA No.02/2020, SEMA 03/2020. Bahkan, pada bulan April 2020 Mahkamah Agung juga telah membuat Perjanjian Kerjasama dengan Kejaksaan Agung dan Kementrian Hukum dan Ham tentang Pelaksanaan Persidangan melalui Teleconference (Online). Isi pelaksanaan Persidangan melalui Teleconference, terdapat 6 hal yang diatur pada pasal 5, antara lain: Para Pihak melakukan Sosialisasi, Menyiapkan perlengkapan persidangan di tempat/kantor masing-masing, saling berkoordinasi dengan tetap memperhatikan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, biaya ringan dan Terbuka untuk umum, dalam perkara tertentu persidangan tertutup untuk umum (Perkara Asusila, Anak), tetap memperhatikan hak-hak Terdakwa, saksi korban dan terakhir memperhatikan Situasi dan Kondisi tempat termasuk waktu jika dilakukan diwilayah yang berbeda.
Perangkat ketentuan terbaru dikeluarkan Mahkamah Agung pada tanggal 25 September 2020 yaitu PERMA No.04/2020 tentang Administrasi dan Persidangan Perkara Pidana di Pengadilan secara Elektronik (Online) yang telah diundangkan pada Berita Negara Republik Indonesia tanggal 29 September 2020. Dalam PERMA No.04/2020 ini, telah mengatur secara spesifik mengenai Pedoman dalam Penanganan Perkara Pidana secara elektonik (online). Dalam PERMA N0.04/2020, terdapat aturan yang menjadi landasan dapat diberlakukannya Sidang secara Elektronik (Online), khususnya Pasal 2:
- Persidangan dilakukan di ruang persidangan Pengadilan dengan dihadiri Penuntut Umum dan Terdakwa dengan didampingi/tidak didampingi oleh Penasehat Hukum, kecuali ditentukan lain berdasarkan peraturan Perundang-undangan.
- Dalam keadaan tertentu, baik sejak awal persidangan Perkara maupun pada saat persidangan perkara sedang berlangsung, Hakim/Majelis Hakim karena jabatannya atau atas permintaan dari Penuntut Umum dan/atau Terdakwa atau Penasehat Hukum dapat menetapkan persidangan yang dilakukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maupun secara elektronik.
Maka jika kita melihat bunyi pasal di atas, tidak disebutkan secara implisit persidangan Pidana secara Elektronik (Online) wajib dilakukan bagi Terdakwa (dan Penasehat Hukumnya). Ayat (1) tetap mengatur Persidangan dilakukan di ruang Persidangan Pengadilan, namun pada ayat (2) dibuka ruang kebijakan/diskresi Majelis hakim yang memeriksa, mengadili atau atas dasar permintaan Penuntut Umum dan/atau Permintaa Terdakwa (Penasehat Hukumnya) untuk melakukan Sidang secara Online.
Pelaksanaan sidang Elektronik (Online) harus pula mempertimbangkan perangkat elektronik yang ada di kantor Pengadilan, kantor Kejaksaan maupun kantor Rutan (rumah tahanan) tempat Terdakwa ditahan. Kementerian Hukum dan HAM selaku aparat yang mengurus rumah tahanan (tempat Terdakwa ditahan) telah membuat surat secara spesifik kepada Mahkamah Agung, meminta agar Mahkamah Agung menyidangkan perkara pidana terhadap Para Terdakwa yang di dalam Rutan dapat secara Online. Dengan alasan, pertimbangan, jika salah satu Terdakwa terkena/terpapar Covid saat sidang di Pengadilan, akan memiliki dampak yang besar, menularkan kepada ratusan atau ribuan tahanan (terdakwa) lainnya yang di dalam Rutan.
Segala perangkat aturan di atas, jika dilihat maka tidak ada yang salah, karena dibuat dan dilaksanakan dengan mengikuti perkembangan teknologi maupun menyikapi situasi/keadaan luar biasa menghadapi wabah Covid-19. Namun yang perlu kita telaah lebih jauh adalah, apakah perangkat aturan atau alasan di atas, sudah sesuai dengan undang-undang yang berlaku sebagai Hukum Positif (Ius Constitutum) yang berlaku di Indonesia.
Aturan Hukum
Jika kita mengacu pada pemberlakuan suatu aturan/ketentuan hukum di Indonesia, maka kita terlebih dahulu harus melihat dan mengetahui hierarki dari pemberlakuan suatu aturan/ketentuan tersebut. Hal ini dapat kita lihat pada Undang-Undang No.12 Tahun 2011 yang telah diubah dengan Undang-Undang No. 15 tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dalam Pasal 7 ayat (1) yang menyebutkan, jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan terdiri atas:
- Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
- Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
- Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
- Peraturan Pemerintah;
- Peraturan Presiden;
- Peraturan Daerah Provinsi; dan
- Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Kekuatan hukum peraturan perundang-undangan di atas sesuai dengan hierarki tersebut dan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Jenis peraturan perundang-undangan selain yang dimaksud di atas mencakup peraturan yang ditetapkan oleh:
- Majelis Permusyawaratan Rakyat (“MPR”);
- Dewan Perwakilan Rakyat (“DPR”);
- Dewan Perwakilan Daerah (“DPD”);
- Mahkamah Agung;
- Mahkamah Konstitusi (“MK”);
- Badan Pemeriksa Keuangan;
- Komisi Yudisial;
- Bank Indonesia;
- Menteri;
- Badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang (“UU”) atau pemerintah atas perintah UU;
- Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (“DPRD”) Provinsi dan DPRD kabupaten/kota;
- Gubernur, bupati/walikota, kepala desa atau yang setingkat.
Peraturan perundang-undangan tersebut di atas diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.
Maka jika kita melihat hierarki aturan yang berlaku di atas, dapat kita lihat UUD berada pada urutan pertama dan UU berada pada urutan ketiga. Di mana inilah yang menjadi landasan pemberlakukan hukum secara umum bagi setiap warga negara, diatur dalam Pasal 28 D ayat (1) yang menyebutkan “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.” Secara khusus dalam perkara pidana juga telah diatur dalam Undang-Undang No.8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Hak-hak Tersangka maupun Terdakwa telah diatur secara jelas mulai dari Pasal 50 s/d Pasal 68.
Yang pada pasal 64 menyebutkan dengan tegas “Terdakwa berhak untuk diadili di sidang Pengadilan yang terbuka untuk umum”.
Proses pemeriksaan di persidangan di dalam Pengadilan juga telah diatur dengan jelas dan lengkap mulai Pasal 145 s/d Pasal 232. Mulai dari pemeriksaan biasa, tindak pidana ringan, sikap Terdakwa, Penasehat Hukum dan Penuntut Umum jika Majelis Hakim memasuki ruang persidangan, sikap saksi-saksi dalam ruang persidangan, penilaian Majelis hakim terhadap menilai alat bukti dalam persidangan (keterangan saksi-saksi, keterangan Ahli dan Keterangan Terdakwa).
Dalam KUHAP, yang menjadi acuan dalam tata laksana penanganan perkara Pidana mulai dari Penyelidikan, Penyidikan, Penuntutan, Persidangan hingga Putusan Pengadilan, jelas harus dilakukan dengan atau secara tatap muka langsung (face to face), dan tidak dikenal “due process of law” tersebut secara online/daring. Landasan filosofis KUHAP dilakukannya pelaksanaan tindakan hukum untuk keadilan yang (Pro Justicia) secara langsung kepada pihak-pihak terkait (Saksi-saksi, Ahli maupun Tersangka atau Terdakwa), dikarenakan hakekat dalam penanganan proses hukum pidana, adalah mencari kebenaran materiil dari suatu peristiwa yang diduga ada suatu perbuatan yang melanggar ketentuan-ketentuan Pidana.
Hak Terdakwa pula untuk mendengar surat dakwaan/tuduhan secara langsung di hadapannya yang dibacakan Penuntut Umum di dalam ruang persidangan, mendengar keterangan saksi-saksi yang memberatkan (a charge) maupun yang meringankan (a de charge), serta memberi keterangan secara langsung di hadapan Majelis Hakim. Sehingga Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadilil tetap mematuhi ketentuan dalam Pasal 183 KUHAP yang menyebutkan: “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.
Dari ketentuan-ketentuan di atas, yang paling utama adalah, apakah PERMA, SEMA ataupun Surat dari Kemenkumham dapat secara serta merta mengesampingkan isi dari Undang-undang dalam hal ini KUHAP. Jika kita melihat hierarki perundang-undangan, maka letak/posisi PERMA, SEMA ataupun Surat Kemenkumham adalah berada di bawah undang-undang. Sehingga seharusnya pemberlakuan PERMA, SEMA ataupun Surat Kemenkumham tidak boleh sampai bertentangan dengan KUHAP, apalagi hingga melanggar Hak masyarakat Para Pencari Keadilan (dalam hal ini Tersangka/ Terdakwa), yang dalam pelaksanaannya menggali Kebenaran Materiil.
Sebagaimana dalam Peraturan Mahkamah Agung No. 1 tahun 2019 tentang Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan secara Elektronik yang secara spesifik mengatur mengenai jenis perkara Perdata, Perdata Agama, Tata Usaha Negara (TUN), Tata Usaha Militer (TUM), maupun dalam SEMA No.01/2020, SEMA 02/2020, SEMA 03/2020 maupun PERMA No. 4 tahun 2020 adalah perangkat aturan, kemudahan yang diberikan kepada pengadilan di bawahnya untuk dapat diterapkan bagi masyarakat para pencari keadilan agar dapat lebih efektif, efisien. Namun tetap pula hal ini dilakukan jika dalam perkara Perdata, TUN, TUM berdasarkan kesepakatan para pihak. Barulah dapat dilaksanakan sidang menggunakan teknologi yang tidak perlu dihadiri langsung dalam persidangan. Di sini, dapat kita lihat seyogianya Pengadilan adalah sebatas fasilitator bagi pencari keadilan, atau jika melihat dalam sisi jenis putusan, dapat dikatakan sifatnya Declaratoir (Mengumumkan) bukanlah Condemnatoir (Penghukuman/kewajiban).
Asas Hukum
Asas hukum yang berlaku di negara Republik Indonesia yang sangat perlu diperhatikan dalam konteks penanganan suatu perkara khususnya perkara pidana adalah asas kesamaan perlakuan di hadapan hukum (Equality before the law) inilah yang seharusnya selalu diperhatikan oleh para aparat penegak hukum dalam menjalan tugas, fungsinya masing-masing, baik Polisi (sebagai Penyidik), Jaksa (sebagai Penuntut Umum), Advokat (Pembela Umum), dan Hakim (sang Pengadil).
Jika kita melihat ketentuan-ketentuan di atas yang dikeluarkan sebagai respon Mahkamah Agung terhadap perkembangan teknologi informasi secara online dan menyikapi situasi kondisi wabah pandemi Covid-19 bagi pengadilan-pengadilan yang berada di bawahnya, maka sudah disebutkan di atas, PERMA ataupun SEMA tersebut dibuat/dikeluarkan untuk memfasilitasi bagi setiap pencari keadilan untuk bersidang, dapat secara langsung di pengadilan, maupun dapat pula secara online (E-Litigasi).
Namun, lagi-lagi yang harus dipahami di sini adalah, hal tersebut berupa anjuran/pilihan yang diberikan, mengingat masih banyaknya masyarakat pencari keadilan belum begitu paham dengan hal-hal baru dalam tekonologi tersebut, maupun pengadilan-pengadilan di pelosok negeri yang secara infrastruktur teknologinya yang belum memadai melaksanakan PERMA atau SEMA tersebut secara optimal.
Karena sifatnya berupa edaran, maka seharusnya keputusan persidangan dilakukan secara langsung ataupun secara online harus sesuai kesepakatan para pihak (jika perkara perdata), dan kesepakatan/persetujuan Tersangka atau Terdakwa (jika perkara pidana). Mengingat dalam perkara pidana, banyak hak Terdakwa yang tidak diperoleh secara maksimal jika persidangan dilakukan secara online.
Pengadilan atau dalam hal ini Majelis Hakim atau dalam hal ini, harus memperhatikan perlakuan yang sama atau “same treatment” bagi masyarakat pencari keadilan dalam perkara Pidana (Terdakwa). Realita di lapangan yang terjadi, banyak perbedaan treatment yang diterima oleh para Terdakwa. Keputusan sidang secara langsung atau online malah diputuskan oleh ketua majelis hakim, tanpa jelas tolak ukurnya. Ada terdakwa yang disidangkan secara online, namun ada terdakwa lain yang disidangkan tetap di ruang persidangan secara langsung. Tanpa tolak ukur yang jelas.
Hal ini juga menjadi keberatan dari salah satu publik figure di Bali yang menjadi Terdakwa, karena ketua majelis hakim menjalankan proses persidangan secara online, sedangkan Terdakwa dan penasehat hukumnya ingin persidangan dijalankan secara langsung di ruang pengadilan, sehingga Majelis Hakim dapat dengan cermat, teliti melihat segala hal yang terungkap di persidangan, keterangan lisan saksi maupun Terdakwa, dan melihat gerak-gerik saksi-saksi maupun Terdakwa dalam memberikan keterangan secara langsung.
Terdakwa ini meminta perlakuan yang sama, dengan membandingkan adanya beberapa perkara lainnya yang masih disidangkan secara langsung di ruang Pengadilan Negeri Bali, maupun membandingkan dengan perkara pidana yang juga menarik isu nasional yakni kasus Jiwasraya, di mana 6 orang Terdakwa dihadirkan langsung di ruang persidangan. Dan akhirnya setelah pembacaan dakwaan, pembacaan eksepsi dan putusan sela secara online, sidang selanjutnya dengan agenda pembuktian (pemeriksaan saksi-saksi), majelis hakim, dengan kebijakan/diskresinya mengubah persidangan menjadi secara langsung.
Namun ke depannya hal-hal seperti inilah yang harus jelas tolak ukur, pertimbangan bagi Majelis Hakim dalam memberikan kebijakan suatu perkara yang diperiksa, diadilinya apakah persidangan dilakukan secara langsung atau cukup dengan online. Agar tidak timbul polemik-polemik yang malah menyebabkan problematika lainnya, sehingga tujuan penggunaan teknologi dalam persidangan, malah tidak mencapai maksudnya.
Dalam hal memutuskan suatu sidang perkara pidana apakah dilakukan dengan secara langsung di ruang persidangan pengadilan atau dilakukan dengan online (teleconference), harus memiliki dan melihat Asas Keseimbangan dan Kemanfaatan pula. Seimbang dalam hal ini melihat kepentingan, perlindungan bagi pencari keadilan (terdakwa) yang tidak boleh diabaikan, dengan tetap pula melihat kepentingan, perlindungan kesehatan bagi masyarakat lainnya. Dan menilai kemaanfaatan dari persidangan pidana, apakah lebih baik dilakukan secara langsung atau secara online, agar tidak menimbulkan prasangka dan polemik baru.
Penulis berpendapat, pada akhirnya, dalam negara hukum, Hakim berdasarkan UU Kekuasaan Kehakiman, memiliki Hak Kebebasan, Kemandirian dalam melaksanakan, menilai, memutus suatu perkara yang ditanganinya. Sehingga sebagai negara yang beradab, setiap masyarakat pencari keadilan harus menghargai setiap keputusan, kebijakan Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili suatu perkara, dalam menghadapi situasi wabah pandemi ini, dengan menggunakan perkembangan teknologi dengan tetap memperhatikan Asas Kesamaan (Equality), Keseimbangan, dan Kemanfaatannya, tanpa mereduksi hak masyarakat pencari keadilan (terdakwa) secara khusus, maupun Hak kesehatan masyarakat secara umum.
*)Eric Manurung, S.H.